Kisah seorang waria yang ingin kembali menjadi seorang laki2 tulen patut diberikan apresiasi & dukungan penuh dari kita. Waria itu menyadari, bahwa menjadi waria bukanlah kodrat dari Tuhan, melainkan suatu keinginan pribadi yang dijadikan sebagai ujian dari Tuhan untuknya. Semoga hal ini banyak diikuti oleh waria2 yang lainnya, agar mereka bisa kembali normal kepada kodrat yang telah diberikan Tuhan, yaitu sebagai laki2. berikut beritanya:
Sasa Aprilia Kembali Menjadi Pria
Jumat, 21 November 2008 | 08:19 WIB
MALANG — Menjadi waria adalah pilihan yang secara sadar diambil M Yahya. Namun, dengan kesadaran pula ia memutuskan kembali menjadi laki-laki tulen dan menanggalkan nama Sasa Aprilia.
M Yahya punya perawakan kecil, juga kurus. Kamis (20/11) siang rambutnya yang ikal panjang dan di-highlight coklat seperti tak tersentuh sisir, awut-awutan. Kaus oblong hitam dan celana pendek mengukuhkan jati dirinya sebagai remaja pria tulen.
Gaya itu beda dengan keadaan sekitar setahun lalu. Saat itu ia selalu tampil feminin. Bibirnya pasti bergincu tiap kali keluar rumah. Bajunya acap kali seksi dan model rambut pun selalu mengikuti mode yang sedang digemari para cewek seusianya waktu itu, 18 tahun. Waktu itu ia punya nama gaul, Sasa Aprilia.
Ya, waktu itu ia dikenal di lingkungannya sebagai waria dan anggota Ikatan Waria Malang. Sekarang ia berubah total setelah berniat menjadi laki-laki tulen. “Saya ingin kembali ke sujud-Mu, ya Allah,” kata Yahya ketika ditemui di rumah orangtuanya di kawasan Mergosono, Kota Malang, Kamis (20/11), ketika ditanya alasannya bertobat.
Mengenang masa lalunya, Yahya menuturkan, ia memantapkan diri menjadi waria saat duduk di bangku kelas II SMP. Karena usianya itu, Yahya atau Sasa dinobatkan menjadi anggota termuda. Tentu tidak mudah untuk mengambil keputusan itu. Lingkungannya sudah pasti menentang, terutama sang ibu yang tidak rela anak laki-lakinya berdandan dan bertingkah laku seperti perempuan.
Namun, waktu itu Yahya tidak punya pilihan karena dorongan dalam dirinya terlalu kuat untuk dilawan. Jauh sebelum memutuskan menjadi waria, Yahya sudah merasakan pertentangan antara jiwa dan fisiknya. Bahkan, sejak kelas IV SD, Yahya sudah merasa lebih suka mengerjakan segala sesuatu yang identik dengan perempuan.
“Waktu itu saya sudah merasakan bagaimana mencintai pria,” ungkap Yahya yang masih menyisakan gaya bicara kemayunya.
Saat itu anak keempat dari enam bersaudara, putra pasangan Sukirno-Dwi ini mencintai guru olahraganya yang terlihat macho. Seperti layaknya anak perempuan, ia merasa tidak bisa mengumbar cerita cintanya. Tidak pantas, katanya, perempuan mengungkapan perasaannya lebih dulu. Tentu saja sang guru pun hingga kini tidak tahu bagaimana perasaannya waktu itu. Ketika duduk di SD, pemuda yang sempat mengenyam pendidikan pesantren itu, cukup aktif. Bahkan, ia pernah merebut juara tartil Al Quran.
Yahya mengungkapkan, setelah duduk di bangku SMP ia semakin tidak terkendali. Ia merasa semakin dalam masuk ke dunia waria. Apalagi, ia menemukan kawan-kawan senasib di Kota Malang. Di kota ini sedikitnya ada 150 waria atau 500 orang di seluruh Malang Raya. Jadilah ia merasa nyaman berada di komunitas itu.
Di dunia itu Yahya mengikuti gaya hidup waria lain, misalnya menjajakan diri hampir tiap malam di sekitar Stasiun Kota baru atau dugem. Bahkan, ia sempat kena garuk Satpol PP saat mejeng di sebuah kafe di Jalan Panglima Sudirman, Kota Malang. Saat itulah bibit-bibit perenungan terhadap kehidupan yang dijalaninya mulai muncul.
Pemuda kelahiran Malang, 15 November 1989, itu pun mulai mempertanyakan tujuan hidupnya. Ia pun semakin sering menemui kenyataan bahwa tidak mudah memegang teguh pilihan sebagai waria.
Cibiran lingkungan tidak kunjung hilang yang menandakan keberadaannya belum diterima masyarakat. Juga sang ibu yang tidak berhenti menangisi keadaannya dan minta ia kembali ke kehidupan semula ketika ia dilahirkan, yaitu sebagai laki-laki. Juga ada desakan dari sahabat semasa kecilnya, Fendi yang tak pernah bosan mengingatkannya untuk kembali.
“Kalau diingatkan Fendi saya tidak marah, malah seperti ada yang memperhatikan. Sebab, dia mengingatkan terus bahwa saya adalah seorang pria,” ungkap Yahya.
Masih dengan gaya bicara gemulainya, Yahya menganggap menjadi waria adalah cobaan Tuhan. ”Waria bukan kodrat, jadi masih bisa diperbaiki,” katanya. (sylvianita w)
sumber forum kompas
0 comments:
Post a Comment